BAB II
PEMBAHASAN
PERADILAN ISLAM PADA MASA TURKI USMANI
A.
Sejarah Turki Usmani
Sesudah runtuhnya kerajaan Bani
Abbasiyah di Bagdad dengan naiknya bangsa Mongol dan Tartar, boleh dikatakan
tidak ada lagi kerajaan Islam yang besar dan dapat menjadi tumpuan harapan
dunia Islam. Negeri-negeri Islam terpecah belah, tetapi dengan timbulnya
kerajaan Usmani atau Daulat Usmaniyah dapatlah Islam menunjukkan kegagah
perkasaan yang luar biasa, dan dapat menyambung usaha kemegahan yang lama.[1]
Suku Turki adalah bangsa yang hidup
nomaden. Ekses dari agresi bangsa Mongol yang dipimpin Jengis Khan ke Irak dan
Asia kecil, kakek dari Usman, Sulaiman hijrah bersama kabilahnya. Mereka
bermigrasi sampai ke pesisir Laut Tengah di Anatolia. Mereka hidup berdampingan
dengan bangsa Arab muslim yang mendiami daerah selatan Anatoli. Interaksi yang
harmonis terjalin di antara mereka, sehingga lambat laun mereka pun mulai
memeluk agama Islam.[2]
Dalam perkembangan selanjutnya Turki
Usmani, melewati beberapa periode kepemimpinan, tidak kurang dari 37 Sultan
yang memimpin sejak pertama berdiri tahun 1299 M hingga 1922 M (623 tahun).
Bahkan kekuasaannya terbentang luas, meliputi daratan Eropa, Mesir, Afrika
Utara, Asia hingga Persia, Lautan Hindia hingga Laut Hitam. Tiga benua menjadi
daerah kekuasaan kerajaan Usmani.
B.
Peradilan Turki Usmani
Kerajaan Turki Usmani pada masa awal
kekuasaannya tidak menganut salah satu mazhab. Pada fase berikutnya penguasa
Turki Usmani mengundangkan Mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi dalam hal fatwa
dan peradilan.
Perkembangan hukum islam pada masa
Dinasti Usmani, sejak sultan Usman I bin Orthagol (1299 M) hingga meninggalnya
Salim I bin Bagazid II (1520 M), belum terkodifikasi dan tersistemasikan dengan
sempurna. Oleh sebab itulah pemerintahan Usmani, pada masa Sultan Sulaiman I
bin Salim I (1520 M), berupaya untuk melakukan terobosan dalam bidang hukum,
yaitu dengan mengkodifikasikannya.[3]
Cikal bakal kodifikasi dan
kebangkitan hukum Islam bermula dari kepemimpinan Sulaiman al-Qauni.
Keberhasilan ekspedisi dan perkembangan dakwah hingga kedaratan Eropa juga
diikuti dengan keinginan untuk menegakkan syariat Islam di wilayah
kekuasaannya. Sulaiman al-Qauni berkeinginan untuk menegakkan Syariat Islam di
wilayah kekuasaannya. Sulaiman al-Qauni berkeinginan untuk menghimpun hukum
Islam serta memebrlakukannya menjadi hukum positif yang berlaku di semua
wilayah kekuasaan Turki.
Pada awal abad ke-16 suasana
kehidupan beragama di Turki, dipengaruhi oleh ulama-ulama mazhab. Dalam
penerapan hukum, rakyat Turki merujuk kepada mazhab Hanafi dan menjadi mazhab
resmi negaranya.
Sistem pemerintahan dan sistem
administrasi peradilan diselenggarakan berdasarkan syari’at Islam. Unit
peradilan umum (peradilan perdata) bekerja sama dengan qadha’, ia disebut juga
subashi.
Berdasarkan kedudukan syariat Islam
sebagai sumber hukum, sejarah peradilan Turki Usmani dalam garis besarnya dapat
dilihat dari dua periode yaitu :
1.
Periode pertama berlansung sejak masa awal berdirinya kerajaan
Turki Usmani sampai lahirnya gerakan Tanzimat (1299-1939 M)
Pada fase pertama ini syar’at Islam dijadikan satu-satunya sumber
penetapan hukum di Turki Usmani. Sehubungan dengan basis kekuasaannya terdiri
atas pengikut mazhab Hanafi, maka Syari’at Islam yang menjadi pegangan bagi
pemerintah dalam menghadapi berbagai masalah peradilan adalah mazhab Hanafi,
sehingga para qadhi utama harus ulama yang bermazhab Hanafi.
Kerajaan Turki Usmani memiliki dua bentuk kekuasaan yaitu kekuasaan
temporal (duniawi) dan kekuasaan spiritual (rohani). Sebagai penguasa dunia ia
disebut Sultan dan sebagai penguasa spiritual ia disebut Khalifah. Dalam
pelaksanaan urusan pemerintahan, sultan dibantu oleh Shadr al-Azam, sedangkan
untuk urusan keagamaan khalifah dibantu oleh Syaikh al-Islam. Sadrazam sering
menggantikan Sultan bila ia berhalangan. Selanjutnya qadhi ditunjuk untuk
membantu tugas sultan dalam persoalan peradilan.
Pada
masa ini Qadha (peradilan) dibagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu :
a.
Mahkamah
tingkat terendah ada dua bentuk :
-
Mahkamah
al-jaza’ (peradilan pidana), yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara
pidana.
-
Mahkamah
al-huquq, bertugas menyelesaikan masalah al-Syakhsiyat (perkara perdata).
b.
Mahkamah
al-Isti’naf (mahkamah tingkat II atau banding), bertugas meneliti
masalah-masalah peradilan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan.
c.
Mahkamah
al-Tamyiz atau al-Naqdhu wa al-Ibram, yang bertugas meneliti keputusan yang
dibuat oleh mahkamah tingkat II atau banding berdasakan prinsip-prinsip dan
prosedur yang ditetapkan.
2.
Masalah Setelah Tanzimat
Tanzimat berasal dari kata Nazhama, yang berarti mengatur,
menyusun, dan memperbaiki.
Tanzimat atau dalam bahasa Turki dikenal dengan Tanzimat-i Khairiye
adalah gerakan pembaharuan di Turki yang diperkenalkan ke dalam sistem
birokrasi dan pemerintahan Turki Usmani semenjak pemerintahan Sultan ‘Abd
al-Majid (1839-1876), putra Sultan ‘Abd al-Aziz (1861-1876).[4]
Pada periode ini banyak diterbitkan
beberapa peraturan yang bertujuan untuk memperlancar proses pembaharuan.
Pemabaharuan tersebut dimulai dengan diumumkannya deklarasi Gulkhane, Khatt-i
Syerif Gulkhane. Pada tanggal 3 Nopember1839/ 26 Sya’ban 1255. Tanzimat ini
ditindaklanjuti oleh Khatt-i Humaqun yang
diumumkan pada 18 Februari 1856. Kata tanzimat sendiri escara resmi telah
tercantum dalam dokumen kerajaan pada pemerintahan Sultan Mahmud II. Dan
periode tanzimat berakhir pada awal pemerintahan Abd al-Hamid, 1880.[5]
` Pada
akhir periode Usmani, persoalan peradilan semakin banyak dan sumber hukum tidak
hanya syari’at Islam, teteapi memiliki sumber hukum yang berbeda, yaitu :
a.
Mahkamah
al-Thawa’if atau Al-Qadha’ al-Milli, yaitu peradilan untuk suatu kelompok
(agama), sumber hukumnya agama masing-masing.
b.
Al-Qadha’
al-Qunshuli, yaitu pengadilan untuk warga asing. Sumbernya undang-undang warga
asing tersebut.
c.
Qadha’
mahkamah al-Jina’i, sumber hukumnya undang-undang Eropa.
d.
Qadha’
mahkamah al-Huquq, mengadili perkara perdata, sumbernya adalah majalah al-ahkam
al-‘Adliyyah.
e.
Majlis
al-Syar’i, mengadili perkara kaum Muslimin khususnya masalah keluarga (al-Ahwal
al-Syakhsiyyah), sumbernya adalah Fiqh Islam.[6]
C.
Al-Majallat Al-Ahkam Al’Adhliyah
Tindak lanjut dari upaya mengkodifikasi hukum (taqnim) pada masa Turki Usmani dilatarbelakangi oleh majunya kebudayaan
Islam, pesatnya ilmu pengetahuan yang melahirkan ilmuwan dan imam-imam mazhab
(fanatisme mazhab), melemahnya upaya berijtihad, dan stagnan dalam berijtihad.
Di samping itu, juga perbedaan dalam menetapkan hukum karena mazhab yang
digunakan berbeda, agar tidak terjadi perbedaan status hukum pada permasalahan
yang sama di lembaga peradilan.
Pemerintah Turki Usmani memerintahkan untuk membentuk panitia yang
bertugas mengumpulkan ketentuan hukum syara’ atas peristiwa-peristiwa yang
terjadi yang berkenaan dengan hukum muamalat (perdata), penetapannya berpegang
kepada mazhab Hanafi dengan tidak mengabaikan pendapat mazhab-mazhab yang laun
sesuai dengan kondisi saat itu. Maka ditunjuklah tujuh ulama fikih untuk membuat
undang-undang perdata Islam, yang mengandung ikhtilaf, melihat pendapat yang
lebih rajih dan mudah untuk dipelajari.
Ulama merampungkan tugasnya selama tujuh tahun (1869-1876 M) dengan
melahirkan peraturan “Majalah al-Ahkam al-Adhiyah). Diundangkan pada 26 Sya’ban
1293 H, dan memerintahkan semua pengadilan di wilayah kekuasaan Turki Usmani
untuk melaksanakannya.
[1] Rahmiati,Peradilan
Islam,(Jakarta : Haifa Press,2005),hal.73
[2] Alaidi Koto,Sejarah
Peradilan Islam,(Jakarta : Rajawali Press,2012),hal.141-144
[3]Alaidin Koto,Sejarah
Peradilan Islam....hal.144-145
[4] Syafiq
A.Mughni,Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, (Jakarta
:Logos,1997),hal.125
[5] Syafiq
A.Mughni,Sejarah Kebudayaan Islam di Turki...hal.126
[6] Rahmiati,Peradilan
Islam....hal.82-83
Alhamdulillah,
BalasHapusMohon ijin sent on my profile Bu.......?
BalasHapusBisa di download gak?
BalasHapus