Kamis, 29 Januari 2015

Makalah tentang Peradilan pada Masa Turki Usmani

 BAB II
PEMBAHASAN
PERADILAN ISLAM PADA MASA TURKI USMANI
A.    Sejarah Turki Usmani
Sesudah runtuhnya kerajaan Bani Abbasiyah di Bagdad dengan naiknya bangsa Mongol dan Tartar, boleh dikatakan tidak ada lagi kerajaan Islam yang besar dan dapat menjadi tumpuan harapan dunia Islam. Negeri-negeri Islam terpecah belah, tetapi dengan timbulnya kerajaan Usmani atau Daulat Usmaniyah dapatlah Islam menunjukkan kegagah perkasaan yang luar biasa, dan dapat menyambung usaha kemegahan yang lama.[1]
Suku Turki adalah bangsa yang hidup nomaden. Ekses dari agresi bangsa Mongol yang dipimpin Jengis Khan ke Irak dan Asia kecil, kakek dari Usman, Sulaiman hijrah bersama kabilahnya. Mereka bermigrasi sampai ke pesisir Laut Tengah di Anatolia. Mereka hidup berdampingan dengan bangsa Arab muslim yang mendiami daerah selatan Anatoli. Interaksi yang harmonis terjalin di antara mereka, sehingga lambat laun mereka pun mulai memeluk agama Islam.[2]
Dalam perkembangan selanjutnya Turki Usmani, melewati beberapa periode kepemimpinan, tidak kurang dari 37 Sultan yang memimpin sejak pertama berdiri tahun 1299 M hingga 1922 M (623 tahun). Bahkan kekuasaannya terbentang luas, meliputi daratan Eropa, Mesir, Afrika Utara, Asia hingga Persia, Lautan Hindia hingga Laut Hitam. Tiga benua menjadi daerah kekuasaan kerajaan Usmani.

B.     Peradilan Turki Usmani
Kerajaan Turki Usmani pada masa awal kekuasaannya tidak menganut salah satu mazhab. Pada fase berikutnya penguasa Turki Usmani mengundangkan Mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi dalam hal fatwa dan peradilan.
Perkembangan hukum islam pada masa Dinasti Usmani, sejak sultan Usman I bin Orthagol (1299 M) hingga meninggalnya Salim I bin Bagazid II (1520 M), belum terkodifikasi dan tersistemasikan dengan sempurna. Oleh sebab itulah pemerintahan Usmani, pada masa Sultan Sulaiman I bin Salim I (1520 M), berupaya untuk melakukan terobosan dalam bidang hukum, yaitu dengan mengkodifikasikannya.[3]
Cikal bakal kodifikasi dan kebangkitan hukum Islam bermula dari kepemimpinan Sulaiman al-Qauni. Keberhasilan ekspedisi dan perkembangan dakwah hingga kedaratan Eropa juga diikuti dengan keinginan untuk menegakkan syariat Islam di wilayah kekuasaannya. Sulaiman al-Qauni berkeinginan untuk menegakkan Syariat Islam di wilayah kekuasaannya. Sulaiman al-Qauni berkeinginan untuk menghimpun hukum Islam serta memebrlakukannya menjadi hukum positif yang berlaku di semua wilayah kekuasaan Turki.
Pada awal abad ke-16 suasana kehidupan beragama di Turki, dipengaruhi oleh ulama-ulama mazhab. Dalam penerapan hukum, rakyat Turki merujuk kepada mazhab Hanafi dan menjadi mazhab resmi negaranya.
Sistem pemerintahan dan sistem administrasi peradilan diselenggarakan berdasarkan syari’at Islam. Unit peradilan umum (peradilan perdata) bekerja sama dengan qadha’, ia disebut juga subashi.
Berdasarkan kedudukan syariat Islam sebagai sumber hukum, sejarah peradilan Turki Usmani dalam garis besarnya dapat dilihat dari dua periode yaitu :
1.      Periode pertama berlansung sejak masa awal berdirinya kerajaan Turki Usmani sampai lahirnya gerakan Tanzimat (1299-1939 M)
Pada fase pertama ini syar’at Islam dijadikan satu-satunya sumber penetapan hukum di Turki Usmani. Sehubungan dengan basis kekuasaannya terdiri atas pengikut mazhab Hanafi, maka Syari’at Islam yang menjadi pegangan bagi pemerintah dalam menghadapi berbagai masalah peradilan adalah mazhab Hanafi, sehingga para qadhi utama harus ulama yang bermazhab Hanafi.
Kerajaan Turki Usmani memiliki dua bentuk kekuasaan yaitu kekuasaan temporal (duniawi) dan kekuasaan spiritual (rohani). Sebagai penguasa dunia ia disebut Sultan dan sebagai penguasa spiritual ia disebut Khalifah. Dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, sultan dibantu oleh Shadr al-Azam, sedangkan untuk urusan keagamaan khalifah dibantu oleh Syaikh al-Islam. Sadrazam sering menggantikan Sultan bila ia berhalangan. Selanjutnya qadhi ditunjuk untuk membantu tugas sultan dalam persoalan peradilan.
Pada masa ini Qadha (peradilan) dibagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu :
a.       Mahkamah tingkat terendah ada dua bentuk :
-          Mahkamah al-jaza’ (peradilan pidana), yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara pidana.
-          Mahkamah al-huquq, bertugas menyelesaikan masalah al-Syakhsiyat (perkara perdata).
b.      Mahkamah al-Isti’naf (mahkamah tingkat II atau banding), bertugas meneliti masalah-masalah peradilan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan.
c.       Mahkamah al-Tamyiz atau al-Naqdhu wa al-Ibram, yang bertugas meneliti keputusan yang dibuat oleh mahkamah tingkat II atau banding berdasakan prinsip-prinsip dan prosedur yang ditetapkan.

2.      Masalah Setelah Tanzimat
Tanzimat berasal dari kata Nazhama, yang berarti mengatur, menyusun, dan memperbaiki.
Tanzimat atau dalam bahasa Turki dikenal dengan Tanzimat-i Khairiye adalah gerakan pembaharuan di Turki yang diperkenalkan ke dalam sistem birokrasi dan pemerintahan Turki Usmani semenjak pemerintahan Sultan ‘Abd al-Majid (1839-1876), putra Sultan ‘Abd al-Aziz (1861-1876).[4]
            Pada periode ini banyak diterbitkan beberapa peraturan yang bertujuan untuk memperlancar proses pembaharuan. Pemabaharuan tersebut dimulai dengan diumumkannya deklarasi Gulkhane, Khatt-i Syerif Gulkhane. Pada tanggal 3 Nopember1839/ 26 Sya’ban 1255. Tanzimat ini ditindaklanjuti oleh Khatt-i Humaqun  yang diumumkan pada 18 Februari 1856. Kata tanzimat sendiri escara resmi telah tercantum dalam dokumen kerajaan pada pemerintahan Sultan Mahmud II. Dan periode tanzimat berakhir pada awal pemerintahan Abd al-Hamid, 1880.[5]
   `        Pada akhir periode Usmani, persoalan peradilan semakin banyak dan sumber hukum tidak hanya syari’at Islam, teteapi memiliki sumber hukum yang berbeda, yaitu :
a.       Mahkamah al-Thawa’if atau Al-Qadha’ al-Milli, yaitu peradilan untuk suatu kelompok (agama), sumber hukumnya agama masing-masing.
b.      Al-Qadha’ al-Qunshuli, yaitu pengadilan untuk warga asing. Sumbernya undang-undang warga asing tersebut.
c.       Qadha’ mahkamah al-Jina’i, sumber hukumnya undang-undang Eropa.
d.      Qadha’ mahkamah al-Huquq, mengadili perkara perdata, sumbernya adalah majalah al-ahkam al-‘Adliyyah.
e.       Majlis al-Syar’i, mengadili perkara kaum Muslimin khususnya masalah keluarga (al-Ahwal al-Syakhsiyyah), sumbernya adalah Fiqh Islam.[6]

C.    Al-Majallat Al-Ahkam Al’Adhliyah
Tindak lanjut dari upaya mengkodifikasi hukum (taqnim)  pada masa Turki Usmani  dilatarbelakangi oleh majunya kebudayaan Islam, pesatnya ilmu pengetahuan yang melahirkan ilmuwan dan imam-imam mazhab (fanatisme mazhab), melemahnya upaya berijtihad, dan stagnan dalam berijtihad. Di samping itu, juga perbedaan dalam menetapkan hukum karena mazhab yang digunakan berbeda, agar tidak terjadi perbedaan status hukum pada permasalahan yang sama di lembaga peradilan.
Pemerintah Turki Usmani memerintahkan untuk membentuk panitia yang bertugas mengumpulkan ketentuan hukum syara’ atas peristiwa-peristiwa yang terjadi yang berkenaan dengan hukum muamalat (perdata), penetapannya berpegang kepada mazhab Hanafi dengan tidak mengabaikan pendapat mazhab-mazhab yang laun sesuai dengan kondisi saat itu. Maka ditunjuklah tujuh ulama fikih untuk membuat undang-undang perdata Islam, yang mengandung ikhtilaf, melihat pendapat yang lebih rajih dan mudah untuk dipelajari.
Ulama merampungkan tugasnya selama tujuh tahun (1869-1876 M) dengan melahirkan peraturan “Majalah al-Ahkam al-Adhiyah). Diundangkan pada 26 Sya’ban 1293 H, dan memerintahkan semua pengadilan di wilayah kekuasaan Turki Usmani untuk melaksanakannya.






[1] Rahmiati,Peradilan Islam,(Jakarta : Haifa Press,2005),hal.73
[2] Alaidi Koto,Sejarah Peradilan Islam,(Jakarta : Rajawali Press,2012),hal.141-144
[3]Alaidin Koto,Sejarah Peradilan Islam....hal.144-145
[4] Syafiq A.Mughni,Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, (Jakarta :Logos,1997),hal.125   
[5] Syafiq A.Mughni,Sejarah Kebudayaan Islam di Turki...hal.126
[6] Rahmiati,Peradilan Islam....hal.82-83

3 komentar: