Minggu, 01 Februari 2015

Penjelasan Ayat al-Quran tentang Li'an

A.    Ayat tentang Li’an
-          QS. An-Nur : 6-10

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ{6}وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ{7} وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ{8}وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا اِنْ كَـانَ مِـنَ الـصَّادِقِيْنَ {9} وَلـَوْلَافَضْــلُ اللهِ عَـلَيْكُـمْ وَرَحْـمَتُـهُ وَاَنَّ اللهَ تَـوَّابٌ حَـكِيْمٌ{10}

Artinya :
(6) Dan orang-orang yang menuduh istrinya ( berzina ), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya ia benar  (dalam tuduhannya ). (7) Dan sumpah yang kelima yaitu bahwa laknat Allah atasnya, jika ia termasuk orang-orang yang berdusta. (8) Dan istri itu terhindar dari hukuman apabila dia bersumpah empat kali atas ( nama ) Allah bahwa dia ( suaminya ) benar-benar termasuk orang-orang yang berdusta. (9). Dan ( sumpah ) yang kelima bahwa kemurkaan Allah akan menimpanya ( istri ), jika dia ( suaminya ) itu termasuk orang yang berkata benar.(10) dan sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu ( niscaya kamu akan menemui kesulitan ). Dan sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat, Maha Bijaksana,


Tafsir al-Mufradat

يَـرْمُـوْنَ        : Mereka menuduh istri-istri mereka dengan berbuat fahisyah ( zina ), bahwa         yang dimaksud pada ayat adalah tuduhan berbuat zina dengan indikator disyaratkan empat orang saksi, dan disini disyaratkan empat orang saksi juga.[1]
اَزْوَاجَـهُمْ       : Kata tunggalnya adalah zaujun, dengan makna zaujah.
فَشَـهَادَةُ اَحَادِهِمْ : Kesaksian  yang dapat mengangkatkan had qazaf, dengan cara bersumpah empat kali dengan nama Allah yang menyatakan suami benar pada tuduhan terhadap isterinya berbuat zina. Dan Syahadah disini secara etimologi berarti berita yang pasti.
أَنْ لَعْـنَةَ اللهِ     :Kemarahan dan kebencian Allah. Makna asal dari kata “al-la’nu “ adalah terlempar jauh dari dari rahmat Allah swt.
وَيَـدْرَأُ           : Menolak dan menangkis. Secara etimologi maknanya menolak, seperti firman Allah swt “fadara’tum  fiha “, artinya kamu saling bertengkar tentang keadaannya dan menjadikan sebahagian kamu menolak sebahagian yang lain.
الـعَذَابُ            : Adzab duniawi, yakni had ( pukulan atau rajam ) yang telah disyari’atkan sebagai sanksi bagi pezina laki-laki maupun perempuan.
تَـوّابٌ حَكِـيْمٌ    : Kata Tawwabun, artinya banyak taubat yang ditujukan bagi orang-orang yang berbuat dosa kembali kepada rahmat dan ampunan. Sedangkan kata hakiimun, artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya.



B.     SABABUN NUZUL
1.      Hilal bin Umayyah mengadukan kepada Rasulullah saw bahwa isterinya berzina. Rasulullah meminta bukti atas tuduhan itu. Kalau tidak dapat mendatangkan saksi, maka ia sendiri yang akan dicambuk, ini berkaitan dengan hadis Nabi saw :
اَلْـبَيّنَـةُ وَاِلّا فَـحَدٌّ فِى ظَـهْـرِكَ
( Tampilan ) bukti ! Jika tidak, hukuman ( dera ) menimpa punggungmu !
       
           Maka Hilal berkata : “Wahai Rasulullah, sekiranya salah seorang di antara kami melihat isterinya bersama dengan lelaki lain, apakah ia harus mandatangkan saksi lebih dahulu dalam menyampaikan tuduhan ? Rasulullah tetap meminta agar Hilal mandatangkan saksi, atau ia sendiri yang dicambuk lantaran tidak dapat mendatangkan saksi tersebut. Hilal kembali berkata: “Demi Allah yang mengutusmu dengan hak. Sesungguhnya aku berada dalam pihak yang benar dan mudah-mudahan Allah menurunkan suatu ketentuan yang menghindarkan diriku dari hukum cambuk. Sehubungan dengan ini maka turunlah ayat ke-6 sebagai petunjuk bagaimana seharusnya menyelesaikan permasalahan menuduh zina kepada orang-orang beriman.  Lalu Allah menurunkan ayat dan orang-orang yang menuduh istri-istri mereka….( ayat 6-9 )[2], setelah wahyu selesai diturunkan, maka Rasulullah bersabda : “ Hai Hilal, bergembiralah, sesungguhnya Allah telah memberimu jala keluar dan penyelesaiannya “, kemudian Nabi memanggil Hilal dan istrinya lalu Hilal bersumpah ( li’an), dan Nabi saw bersabda : ”Allah Maha Tahu, dimana sesungguhnya salah seorang diantara kalian berdua pasti ada yang dusta, lalu apakah ada di antara kalia yang sudi bertaubat?” Kemudian istrinya berdiri lalu bersumpah pula dan tatkala sampai pada sumpahnya yang kelima, orang-orang pada menghentikannya seraya berkata : Sesungguhnya sumpah yang kelima inilah yang menentukan! Lalu ia berhenti dan mundur hingga orang mengira ia akan membatalkan ( sumpahnya ), lalu ia berkata : Aku tidak akan membuat cela kaumku dan melanjutkan sumpahnya. Lalu Rasulullah menceraikan keduanya dan memutuskan bahwa anaknya kelak tidak boleh dinisbatkan kepada ayahnya, dan anaknya tidak boleh disebut sebagai anak zina. [3]  Rasulullah saw memutuskan bahwa dia tidak berhak mendapat nafkah dari Hilal, tidak berhak mendapatkan tempat tinggal karena keduanya dipisahkan tanpa melalui proses talak. Kemudian Nabi saw bersabda : “jika anak yang dilahirkannya nanti berambut pirang, tidak keriting lagi betisnya kecil, maka ia adalah anak Hilal . Dan jika ia melahirkan bayi yang berambut hitam keriting, betisnya berisi dan pinggulnya besar maka bayi itu berasal dari Syarik bin Sahma. Datanglah perempuan itu membawa bayinya kehadapan Rasulullah dalam keadaan persis seperti yang disifati Nabi, lalu nabi bersabda, kalau seandainya belum ada keputusan dari kitabullah tentulah aku dan dia ( istri Hilal ) berada dalam suatu keadaan yang lain.
C.    Penjelasan
1.       Imam Fakhrur Razi berkata: Sebenarnya diberlakukannya li’an ( khusus ) bagi kasus           ( tuduhan ) suami terhadap istrinya dan tidak dikenakan kepada kasus ( tuduhan ) terhadap perempuan-perempuan lain adalah karena dua hal :[4]
a.       Bahwa sesungguhnya tidak ada suatu cela ( yang akan melekat kepada seorang laki-laki yang disebabkan oleh perbuatan zina yang dilakukan oleh perempuan lain yang sedang memergoki kasus seperti ini yang lebih baik adalah menutupnya ( tidak mengadukannya ), adapun perbuatan zina yang dilakukan oleh istri sendiri akan melekatkan cela kepada suami dan merusak keturunan sehingga tidak mungkin bagi seorang suami dalam hal ini bisa sabar.
b.      Bahwa pada lazimnya seorang suami tidak akan bersengaja dengan semata-mata ingin menuduh istrinya ( berzina ) kecuali kalau ada kenyataan ( bukti ), maka apabila seorang suami menuduh istrinya berzina, sebenarnya tuduhan itu merupakan suatu kesaksian yang dapat dibenarkan, hanya saja semata-mata tuduhan itu belum dipandang memadai ( cukup ) sehingga diperlukan sumpah.
2.      Firman Allah فـشـهادة, bahwa ayat ini menamai sumpah dengan sumpah. Ini dikarenakan bahwa sumpah-sumpah yang dituntut ayat ini berfungsi sebagai syahadah dalam kasus selain suami yang menuduh seorang wanita baik-baik. Dalam kasusu li’an ini memang yang dituntut terhadap suami dan istri memberikan syahadah sebanyak lima kali. Yang kelima adalah pengukuhan terhadap sumpah yang empat kali itu, karena yang tampil disini hanya yang kelima itu yang berfungsi sebagai pengingat dampak buruk dari sumpahnya jika ia berbohong.[5]
D.    Hukum-hukumnya
1. Penyebab dilaksanakan Hukum Li’an
            Apabila seorang suami menuduh istrinya berzina sedang si istri tidak mengakui dan suami tetap pada tuduhannya, maka dalam kondisi seperti ini li’an dapat dilaksanakan.
            Ada dua keadaan yang mana li’an itu wajib dilaksanakan :
-          Apabila suami menuduh istrinya berzina, misalnya ia mengatakan : “ engkau telah berzina “ aku melihatmu berzina “, sedang ia tidak mempunyai empat orang saksi yang menyaksikan kejadian itu. Demikian juga kalau suami berkata : “ Hai perempuan pezina ! maka dalam kasus seperti ini menurut Jumhur harus dilaksanakan li’an , kecuali pendapat Malik yang mengatakan tidak li’an.
-          Apabila suami tidak mengakui anak yang sedang dikandung istrinya, seperti ia mengatakan : Kandungan ini tidak dariku. Atau ia tidak mengakui anak yang dilahirkan istrinya itu sebagai anak nya.[6]
2.Pelaksanaan Li’an
            Fuqaha sepakat bahwa pelaksanaan li’an harus di depan hakim atau orang yang dikuasakan olehnya sebab apabila salah satu pihak dari suami istri itu menolak untuk berli’an maka ia harus dihukum (dera/rajam ), sedang melaksanakan hukuman adalah hakim.
3.Teknis li’an dan prosesnya
            Ayat-ayat al-Qur’an telah menjelaskan dengan tegas bagaimana teknis li’an dan prosesnya dengan bentuk yang konkrit, yaitu :
a.       Suami mengucapkan empat kali kalimat,
ü  Aku bersumpah dengan nama Allah bahwa sesungguhnya apa yang kutuduhkan kepada istriku tentang zina adalah benar.
ü  Kemudian kali kelima ia mengakhiri dengan mengucapkan “semoga laknat Allah menimpaku jika aku dusta tentang apa yang kutuduhkan tentang zina kepada istriku”

b.      Setelah itu disusul oleh pihak istri mengucapkan empat kali kalimat,
·         “aku bersumpah dengan nama Allah bahwa sesungguhnya suamiku dusta atas tuduhannya kepada diriku tentang zina”.
·         Kemudian kali kelima ia mengakhiri li’annya dengan mengucapkan kata-kata “semoga murka Allah menimpaku jika suamiku benar atas tuduhannya kepada diriku tentang zina itu “.
E.     Menolak Li’an
Ahli fiqh berbeda pendapat tentan apabila salah seorang dari suami istri menolak untuk berli’an, dalam hal ini ada dua pendapat :
*      Jumhur ( Malik, Syafi;I dan Ahmad ) berpendapat, bahwa suami apabila menolak berli’an maka ia dijatuhi hukuman tuduhan ( dera ), sedangkan istri apabila menolak berli’an maka ia dijatuhi hukuman zina ( rajam ).
*      Abu Hanifah berkata : Apabila suami menolak berli’an maka ia dijatuhi hukuman penjara sehingga ia mau berli’an atau menarik kembali tuduhannya, sedangkan istri apabila menolak berli’an maka ia pun harus dijatuhi hukuman penjara sampai ia mau berli’an atau mengakui perbuatannya yang kemudian dihukum rajam.



[1] Drs. Arsal, M. Ag, Tafsir Ayat-Ayat Hukum tentang Ahwalu Al- Syakhsiyah, ( STAIN BUKITTINGGI PRESS. 2007 ). Hal. 126
[2] A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al-Qur’an, ( Jakarta :PT. RajaGrafindo Persada :. 2002 ) hal. 604

[3] Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi,  Tafsir Ibnu Kasir, Juz 18, ( Sinar Baru Algensindo ).hal. 184
[4] Muhammad Ali Ash- Shabuni, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni, ( Surabaya :PT. Bina Ilmu :. 2007 ). Hal. 161
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, ( Jakarta : Lentera Hati. 2011 ) hal. 484
[6] Drs. Arsal, M. Ag, Tafsir Ayat-Ayat Hukum tentang Ahwalu Al- Syakhsiyah, ( STAIN BUKITTINGGI PRESS. 2007 ). Hal. 134

Tidak ada komentar:

Posting Komentar